PUISI-PUISI TAUFIK ISMAIL
DENGAN PUISI AKU
(Taufiq ismail)
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
Syair Orang Lapar
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau.
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu.
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi.
Salemba
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini.
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani.
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para penjilat
Jangan kau gusar, Hadi.
Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi.
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan.
Memang demikianlah halnya, Hadi.
Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan
Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi.
PUISI MALU (AKU) JADI ORANG
INDONESIA
Ketika di Pekalongan, SMA
kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat
beasiswa
Sembilan belas lima enam
itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak
revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun
terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut
merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas
Stone namanya,
Whitefish Bay kampung
asalnya
Kagum dia pada revolusi
Indonesia
Dia mengarang tentang
pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai
tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku
nara-sumbernyaDadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk
West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari
Rice University
Dia sudah pensiun perwira
tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku
berdiri
Mengapa sering benar aku
merunduk kini
Langit akhlak rubuh, di
atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak
Berjalan aku di Roxas
Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth
Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs
Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku
berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret
di kepala
Malu aku jadi orang
Indonesia
Di negeriku, selingkuh
birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol
bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang
susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki
anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa
ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran
seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi
pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur,
kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung
jas safari,
Di kedutaan besar anak
presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen
dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen
dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka
bersenang hati,
Di negeriku penghitungan
suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat
jelas
penipuan besar-besaran
tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat
kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya
bersilang tak habis
dan tak utus
dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar
pedagang jelata
supaya berdiri pusat
belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan
Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka
punya jenazah,
sekarang saja sementara
mereka kalah,
kelak perencana dan
pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan
diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan
pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat
ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa
Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak
ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan
dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak
disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah
bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah
naik tingkat
jadi pertunjukan teror
penonton antarkotacuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia
menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,Di
negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala
Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu
cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia
dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia
jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan,
penculikan
dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung,
Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan
Irian,
ada pula pembantahan
terang-terangan
yang merupakan dusta
terang-terangan
di bawah cahaya surya
terang-terangan,
dan matahari tidak pernah
dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti
mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan
sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami
selepas menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di
atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak
Berjalan aku di Roxas
Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth
Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs
Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku
berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret
di kepala
Malu aku jadi orang
Indonesia.1998
Kita Adalah Pemilik Sah
Republik Ini Karya Taufik Ismail
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus.
1966
Membaca Tanda-Tanda Karya
Taufiq Ismail
Ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya
Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan
hutan
Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru
Kita saksikan
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
air
mata
mata
Kita telah saksikan seribu
tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Bisakah kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda
Seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang
rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang
mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya.
1982
Puisi Kembalikan Indonesia
Padaku (Taufik Ismail)
Hari depan Indonesia adalah
dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah
satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah
pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Indonesia
padaku
Paris, 1971
TAKUT ‘66, TAKUT ‘98
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada
mahasiswa.
1998
12 MEI, 1998
Mengenang elang Mulya, Hery
Hertanto,
Hendriawan Lesmana dan
Hafidhin Royan
Empat syuhada berangkat
pada suatu malam, gerimis air mata
tertahan di hari keesokan,
telinga kami lekapkan ke tanah kuburan
dan simaklah itu
sedu-sedan,
Mereka anak muda pengembara
tiada sendiri, mengukir reformasi
karena jemu deformasi,
dengarkan saban hari langkah sahabat-
sahabatmu beribu
menderu-deru,
Kartu mahasiswa telah
disimpan dan tas kuliah turun dari bahu.
Mestinya kalian jadi
insinyur dan ekonom abad dua puluh satu,
Tapi malaikat telah
mencatat indeks prestasi kalian tertinggi di
Trisakti bahkan di seluruh
negeri, karena kalian berani
mengukir alfabet pertama
dari gelombang ini dengan
darah arteri sendiri,
Merah putih yang setengah
tiang ini, merunduk di bawah garang
matahari, tak mampu
mengibarkan diri karena angin lama
bersembunyi,
Tapi perluru logam telah
kami patahkan dalam doa bersama, dan
kalian pahlawan bersih dari
dendam, karena jalan masih
jauh dan kita perlukan peta
dari tuhan.
1998
TENTANG JOKI JAM SEMBILAN
PAGI
Beras berkata kepada saya,
bahwa kacang kedele dan kelapa sawit, ayam daging, sapi inseminasi, ikan laut,
dan ikan daratan, semua dalam keadaan segar bugar tidak kurang suatu apa. Dia
tidak menyebut mengenai apa yang dihasilkan hutan yang lama terbakar dan saya
lupa pula menanyakannya,
Mesin giling menelponku
baru-baru ini, bilang bahwa industri elektronika, komponen cip, kimia dasar,
seluloid, otomotif, telekomunikasi, alat-alat berat, kereta api, kapal laut an
kapal terbang dalam situasi menyenangkan dan sehat-sehat. Dia tidak berkisah
tentang orang-orang yang berhasil menggerek lobang-lobang besar di bawah lantai
bank dan rasanya aku sudah tahu jalan ceritanya,
Aspal bertanya kepada saya
apa hubungan semua ini dengan kesenian. Seorang anak kecil yang jadi joki jam
sembilan pagi di jalan Thamrin cepat menjawab, “oom aspal, kesenian itu bagian
dari kebudayaan, ekonomi bagian dari kebudayaan, sehinggamengacungkan jari di
tepi jalan seperti saya ini juga bentuk seni, agar saya dapat uang seribu
sebagai joki untuk mendapat ekonomi.”
“Anak bijak, siap gerangan
namamu?” tanya saya.
“Ronggowarsito,” jawabnya
segera
“Ah, kamu,” kata saya. Dia
bersiul-siul.
“Siapa namamu?”
“Ronggowarsito,” jawabnya
pelan. Dia bersiul-siul, lalu mengumam lagu.*)
JAMAN EDAN
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan ora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya keduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah kersaning Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lan
waspada
ZAMAN EDAN
Hidup di zaman edan
Suasana jadi serba sulit
Ikut edan tak tahan
Tak ikut
Tak kebagian
Malah dapat kesengsaraan
Begitulah kehendak Allah
Sebahagia-bahagia orang
lupa
Lebih bahagia orang sadar
dan waspada
SAJADAH PANJANG
Ada sajadah panjang
terbentang
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya. 1984
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo)
Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba
Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan sujud
Di atas sajadah yang panjang ini
Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki, mencari ilmu
Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara azan
Kembali tersungkur hamba
Ada sajadah panjang terbentang
Hamba tunduk dan rukuk
Hamba sujud dan tak lepas kening hamba
Mengingat Dikau
Sepenuhnya. 1984
(dinyanyikan Himpunan Musik Bimbo)
PEGAWAI NEGERI
Setiap kami menyaksikan
berbagai penghargaan diberikan
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada
Di istana negara, dalam macam-macam upacara
Satu saja yang tak tampak di layar kaca
Penyerahan medali dan selempang warni-warna pada
Pegawai Negeri
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.
Paling Jujur
Tahun Ini
Wakil dari mereka yang tak pernah kecukupan dalam rezeki
Wakil dari mereka yang sudah luluh dalam keluh
Anak-anak berlahiran juga, nafkah selalu payah
Dalam pemilihan umum selalu diancam macam-macam
Tak pandai ngobyek, tak disertakan dalam proyek
Dalam kalkulasi hidup mana pernah bisa cukup
Tapi ajaib tak sampai terdengar bergeletakan kelaparan
Ada saja jalan keluar yang meringankan beban
Anak-anak pun tahu diri orang tua pegawai negeri
Susah payah sekolah dan kuliah, dan kok ya jadi
Insinyur, dokter, pengacara, S-dua dan Pi-Eic-Di
Lumayanlah, walau tak sangat banyak barangkali
Apabila di dunia ada tujuh macam keajaiban
Maka fenomena pegawai negeri sini mesti yang ke delapan
Menurut teori mutakhir administrasi dan metoda renumerasi
Mestinya di awal karier dulu dari dunia sudah permisi
Memang ada yang terlibat proyek dan bersiram komisi
Tapi itu ‘kan jumlahnya terbatas sekali, yakni
Mereka yang berkerumun di sekitar keran pembangunan
Selebihnya hidup rutin ya begitu itu
Dan pastilah ada juga yang jujur secara sejati
Yang membuat lentur tegang-kakunya prosedur
Bukan mempersukar-sukar, justru memudahkan urusan
Yang betul-betul melayani rakyat, bukan budak kekuasaan
Yang susah payah istikomah di dalam kehalalan rezeki
Yang menahankan pedihnya susah nafkah
Yang masih saja bisa bertahan dilanda arus materi
Mereka tak tampak oleh mata kami
Mereka bukan tipe mengeluh-mengadu ke sana ke mari
Mungkin karena maqamnya sudah mirip orang sufi
Siapa tahu mereka lah sebenar penyangga struktur ini
Yang begitu lapuk rayap dan roboh sudah mesti
Tapi sampai sekarang masih juga berdiri
Mereka sungguh kami hormati
Terutama para guru yang begitu sabar menyebar ilmu
Dan semua yang berdedikasi sejati di struktur birokrasi
Masih tetap bertahan diterjang gelombang hidup serba materi
Kalian tidak nampak, karena memang merundukkan diri.
1998
LONCENG TINJU
Setiap kali lonceng
berkleneng
Tanda putaran dimulai
Setiap kali mereka bangkit
Dan mengepalkan tinju
Setiap teriakan histeria
Bergemuruh suaranya
Aku kelu
Dan merasa di pojok
Sendirian
Setiap lonceng berklenengan
Dan tinju mulai berlayangan
Meremuk kepala lawan
Terkilas dalam ingatan
Nenekku dulu berkata
“Jangan kamu mengadu ayam”
Dan bila aku menuntut ilmu
Di Kedokteran Hewan
Guruku menasihatkan
“Jangan kamu mengadu hewan”
Kini lagi, bel itu
berklenengan
Aku tersudut, bisu
Dan makin merasa
Sendirian
1987
LONDON, ABAD SEMBILAN BELAS
1
Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya
Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan
2
Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab
3
Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak begitu saja
Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak kepalang
4
Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau
Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga
Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu. 1989
Pada ronde ke-99 yang berdarah-darah
Petinju Simon Byrne selesai sudah
Dia mati memuaskan penontonnya
Tinju maut Si Tuli James Burke
Diacung-acungkan wasit
Para penonton berteriak gembira
Polisi Inggeris datang bertugas
Peraturan langsung menjerat kedua tangannya
Tapi anehnya dia dibebaskan, tak lama
Inilah ejekan pada undang-undang
Walau pun ada manusia masih terlarang
Putusan pengadilan bisa diperjual-belikan
2
Lalu tengoklah berbondong-bondong penonton
Naik kereta api dari Setasiun Jambatan London
Menuju tempat rahasia, 25 mil jauhnya
Inilah pertandingan pertama antarbangsa
Tom Sayers juara Britania
Diadu John Heenan jagoan Amerika
Sastrawan Dickens dan Thackeray menonton juga
Sesudah 42 putaran adu manusia
Keduanya berdarah-darah, lebam, habis daya
Tak berketentuan wasit apa keputusannya
Para penonton berteriak dalam histeria
Mengacung-acungkan tinju ke udara
Polisi melakukan interupsi
Para juri dipisuhi, wasit dimaki-maki
Penonton-penonton tak puas jadi buas
Mereka lalu bertinju sesama mereka
Mereka bergigitan seperti serigala
Melolong bagai gorila
Pertunjukan jadi lengkap
Dan lumayan biadab
3
Itulah adegan abad sembilan belas
Asal-usul adu manusia yang kita tidak tahu
Tapi ujungnya kita tiru-tiru
Sebagai bangsa minder apa saja dari Eropa dan Amerika
Seperti kawanan bebek diturut dan ditirukan saja
Sudah jelas ini adu manusia mereka bilang olahraga
Seperti kambing mengembik kita setuju pula
Inilah budaya tanpa pikir kita jiplak begitu saja
Dari abad 19 orang masuk ke abad 20
Di awal abad, adu manusia di sana dilarang undang-undang
Tapi pemilik modal si orang kaya membeli undang-undang
Disobek dicincang itu dokumen undang-undang
Sebagai sampah hukum masuk keranjang
Adu manusia jadi tidak lagi terlarang
Lengkaplah bagian biadab budaya barat
Yang garang, bringasan dan tamak pada uang
Menjalar ke negeri sini, ditiru dan diulang-ulang
Sudahlah minder, ditambah gebleg, kita tak kepalang
4
Pada hari ini akhir abad dua puluh
Kakiku satu sudah masuk abad dua puluh satu
Kita ketemu
Kau ajak aku balik ke abad sembilan belas
Lho tapi, kita ‘kan mau menembus abad 21
Kenapa kau bujuk aku balik ke abad 19 lagi
Mana aku mau
Tapi kau berkeras balik kanan juga
Kau tetap mau ditipu, adu manusia itu olahraga
Kau menanam bibit kekerasan dan kebringasan
Sudah berapa puluh tahun jangka waktunya
Kau sudah panen lama kau mana tahu itu
Bibitmu tumbuh, menyebar dan membesar
Karena kau rabun mana bisa itu kau baca
Ke masyarakatmu tak pernah kau berkaca
Dan kau berkeras balik kanan juga
Kau tak tahu sudah kusiapkan tali rafia biru
Diam-diam kuikat kedua pergelangan tanganmu
Kuseret kau masuk abad 21
Masih saja kau berteriak tak tahu malu
“Tidak mau! Tidak mau!”
Tengoklah anak-anak yang berpikir itu
Mereka terheran-heran melihat kamu. 1989
PELAJARAN TATABAHASA DAN
MENGARANG
“Murid-murid, pada hari
Senin ini
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.” 1997
Marilah kita belajar tatabahasa
Dan juga sekaligus berlatih mengarang
Bukalah buku pelajaran kalian
Halaman enam puluh sembilan
“Ini ada kalimat menarik hati, berbunyi
‘Mengeritik itu boleh, asal membangun’
Nah anak-anak, renungkanlah makna ungkapan itu
Kemudian buat kalimat baru dengan kata-katamu sendiri.”
Demikianlah kelas itu sepuluh menit dimasuki sunyi
Murid-murid itu termenung sendiri-sendiri
Ada yang memutar-mutar pensil dan bolpoin
Ada yang meletakkan ibu jari di dahi
Ada yang salah tingkah, duduk gelisah
Memikirkan sejumlah kata yang bisa serasi
Menjawab pertanyaan Pak Guru ini
“Ayo siapa yang sudah siap?”
Maka tak ada seorang mengacungkan tangan
Kalau tidak menunduk sembunyi dari incaran guru
Murid-murid itu saling berpandangan saja
Akhirnya ada seorang disuruh maju ke depan
Dan dia pun memberi jawaban
“Mengeritik itu boleh, asal membangun
Membangun itu boleh, asal mengeritik
Mengeritik itu tidak boleh, asal tidak membangun
Membangun itu tidak asal, mengeritik itu boleh tidak
Membangun mengeritik itu boleh asal
Mengeritik membangun itu asal boleh
Mengeritik itu membangun
Membangun itu mengeritik
Asal boleh mengeritik, boleh itu asal
Asal boleh membangun, asal itu boleh
Asal boleh itu mengeritik boleh asal
Itu boleh asal membangun asal boleh
Boleh itu asal
Asal itu boleh
Boleh boleh
Asal asal
Itu itu
Itu.”
“Nah anak-anak, itulah karya temanmu
Sudah kalian dengarkan ‘kan
Apa komentar kamu tentang karyanya tadi?”
Kelas itu tiga menit dimasuki sunyi
Tak seorang mengangkat tangan
Kalau tidak menunduk di muka guru
Murid-murid itu cuma berpandang-pandangan
Tapi tiba-tiba mereka bersama menyanyi:
“Mengeritik itu membangun boleh asal
Membangun itu mengeritik asal boleh
Bangun bangun membangun kritik mengeritik
Mengeritik membangun asal mengeritik
“Dang ding dung ding dang ding dung
Ding dang ding dung
Dang ding dung ding dang ding dang
Ding dang ding dung.”
“Anak-anak, bapak bilang tadi
Mengarang itu harus dengan kata-kata sendiri
Tapi tadi tidak ada kosa kata lain sama sekali
Kalian cuma mengulang bolak-balik yang itu-itu juga
Itu kelemahan kalian yang pertama
Dan kelemahan kalian yang kedua
Kalian anemi referensi dan melarat bahan perbandingan
Itu karena malas baca buku apalagi karya sastra.”
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.” 1997
PALESTINA, BAGAIMANA AKU
MELUPAKANMU
Ketika rumah-rumahmu
diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh
menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamartidurku
bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan
mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan
jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka.
sebesar saputangan lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam fail lemari
kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan
khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Ketika kiblat pertama
mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi
tanah dan sepatu sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita
semua, serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil
belajar tajwid Al-Qur’an 40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan
yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini ditetesi
air
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
mataku,
Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika anak-anak kecil di
Gaza belasan tahun bilangan umur mereka,
menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.
menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi
pergelangan tangan dan lengannya, siapakah yang tak menjerit serasa
anak-anak kami Indonesia jua yang dizalimi mereka – tapi saksikan
tulang muda mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan
rantai amat panjangnya, pembelit leher lawan mereka, penyeret
tubuh si zalim ke neraka.
Ketika kusimak puisi-puisi
Fadwa Tuqan, Samir Al-Qassem, Harun Hashim
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi
Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang
dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami semua berdegup
dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
darah kamipun memancar ke atas lalu meneteskan guratan kaligrafi
‘Allahu Akbar!’
dan
‘Bebaskan Palestina!’
Ketika pabrik tak
bernama 1000 ton sepekan memproduksi dusta,
menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki
tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia,
membantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser Arafat,
Ahmad Yassin dan semua pejuang negeri anda, aku pun
berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at sedunia: doakan
kolektif dengan kuat seluruh dan setiap pejuang yang
menapak jalanNya, yang ditembaki dan kini dalam penjara,
lalu dengan kukuh kita bacalah
‘la quwwatta illa bi-Llah!’
Palestina, bagaimana bisa
aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngian di telingaku. 1989
Tanahku jauh, bila diukur kilometernya, beribu-ribu
Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu
Serasa terngiang-ngian di telingaku. 1989
AIR KOPI MENYIRAM HUTAN
Tiga juta hektar
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan. 1988
Halaman surat kabar
Telah dirayapi api
Terbit pagi ini
Panjang empat jari
Dua kolom tegaklurus
Dibongkar dari pik-ap
Subuh dari percetakan
Ditumpuk tepi jalan
Dibereskan agen koran
Sebelum matahari dimunculkan
Dilempar ke pekarangan
Dipungut oleh pelayan
Ditaruh di mejamakan
Ditengok secara sambilan
Dasi tengah diluruskan
Rambut isteri kekusutan
Empat anak bersliweran
Pagi penuh kesibukan
Selai di ujung tangan
Roti dalam panggangan
Ketika tangan bersilangan
Kopi tumpah di bacaan
Menyiram tigajutahektar koran
Dua kolom kepanjangan
Apipadam menutup hutan
Koranbasah dilipat empat
Keranjang plastik anyaman
Tempat dia dibuangkan
Tepat pagi itu
Jam setengah delapan. 1988
BERI DAKU SUMBA
di Uzbekistan, ada padang
terbuka dan berdebu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh. 1970
SEJARUM PENITI, SEPUNGGUNG
GUNUNG
Puisi punya kepentingan
besar terhadap bertrilyun daunan yang terpasang
tepat dan rimbun pada
pepohonan
pada bermilyar pepohonan
yang terpancang rapi
di permukaan bukit,
pegunungan, lembah dan dataran pantai
Yang dialiri beratus juta
kilometer kubik
air berbentuk padat,cair
dan gas
dalam gerakan dinamik yang
kau tak habis kagumi ruwetnya:
tegak lurus dari atas ke
bawah, tegak lurus dari bawah ke atas
miring terjal miring
landai,
beringsut dari kiri ke
kanan, bergulir dari kanan ke kiri
menembus permukaan daun,
meluncuri serat-serat kayu
mendaki akar, menaiki
elevator serambut
yang tersusun rapi dalam
batang kayu
menguap gaib lewat
noktah-noktah jendela mikroskopis
lalu bergabung dalam
substansi gas-gas yang tak dapat
kau sentuh, kau cium, kau
tatap, beribu-ribu klasifikasinya
semua tersusun dalam
komposisi yang begitu rumit
tapi demikian teraturnya,
yang memungkinkan kau
menengadah ke atas sana,
dan tersiuk berkata
waduh
biru
bersih
betul
langit itu
dan tengoklah
serpihan-serpihan bulu domba berserak di angkasa
dengarlah angin telah
berganti baju jadi musik gesek instrumental
yang melatarbelakangi semua
ini, dan kulihat kau menitikkan
dua
tetes
cairan
dari kedua sudut kelopak
mata kau itu.
Puisi punya kepentingan
besar terhadap air yang tersedia
dalam berbagai ukuran
bejana bumi
mengalir melalui bermacam
format saluran tanah
dihuni oleh
perenang-perenang sejati yang berukuran
mulai dari
sejarum peniti sampai
sepunggung gunung
dengan warna-warni panorama
bawah laut
yang luar biasa menakjubkan
bayangan dan penafsiran
dari angkasa penuh cahaya
yang menaunginya
yang di atasnya mengapung
dan mengepak
berjuta penerbang bersayap
dengan gerakan matematis
bercumbu dengan angin dan
bercakap-cakap dengan cuaca.
Puisi punya kepentingan
besar terhadap unggas-unggas itu
yang ketika mengapung di
atas sana
hinggap di dahan atau
mengais tanah
berdialog dengan seluruh
makhluk penghuni bumi
melata dia merangkak dia
berjalan dua kaki dia
menyusupi rumput dia
menyelami tanah dia
dan paru-paru mereka
berdenyut, jantung mereka berdetak
susunan syaraf mereka
memberi sinyal-sinyal cendekia
dalam sirkulasi zat asam
yang siklusnya ruwet
tapi dapat dijelaskan lewat
bahasa apa pun
dan susunan angka-angka apa
pun
sehingga dapat kita raba
peradaban
dan budaya.
Puisi mencatatnya semua,
menyampaikannya kembali
dengan sentuhan yang indah
dan penuh keterharuan
mengulangi ini lewat
daurnya sendiri-sendiri
berabad lamanya beriringan
denyut zikir tiada putusnya
tegak lurus ke arah
Asal
Ini
Semua.
Puisi dengan penuh rasa
khawatir, curiga dan cemburu
menyaksikan dedaunan,
pepohonan, unggas, ikan,
cuaca, zat asam, susunan
syaraf, sungai, danau, lautan
bercakap serak dan gagu
dengan sesamanya
bagi kawanan makhluk yang
telah dilucuti kesempurnaannya
dalam harmoni yang dulu
tiada tertandingi.
Huruf-huruf kapital telah
mengeja keserakahan,
mengejek kemiskinan,
mencetak kekerasan, melestarikan penindasan,
menyebarkan kejahilan,
semua dalam bentuk baru
yang tanpa bandingan
sepanjang umur sejarah,
menerjemahkannya ke setiap
bahasa
lengkap dengan petunjuk
pelaksanaannya
secara kolektif melakukan
penghancuran peradaban
mula-mula dalam kecepatan
perlahan, dan kini
dalam percepatan yang
seperti tiada dapat tertahankan.
Puisi menangisinya,
mencatatnya
dengan huruf-huruf sedih,
sesak nafas, geram dan naik darah.
Puisi menepuk bahu dan
mencoba mengingatkan.
1990
PANTUN TERANG BULAN DI
MIDWEST
Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississippi
Sungai Mississippi
Lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikah suara
Cuaca musim gugur
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis
1971
BUNGA ALANG - ALANG
Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Bisik cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kaupungut
Kaupungut
Bunga rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
1963
DI TELUK IKAN PUTIH
Di Teluk Ikan Putih, telah
terjangkar jasmaniku di pelabuhannya
Pada kapal-kapal yang masuk
dan tertambat sehari-hari
Anak-anak camar bertebar
atas arus melancar
Dan perbukitan dandan perlente
pina-pina berduri
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Pada langitnya keruh asap,
bayang bangunan dan baja
Di perut kota bangkitlah
malam sambil melenggang
Dan dermaganya hening
lelap, berlelehan keristal kaca
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Selamat jalan, malam-malam putih berhujan kapas
Lewati perairan alim dengan
pipinya dingin
Masih ada yang berlinangan
di sela gugusan karang
Ngenangkan musim mengandung
belati dalam angin
Jabatlah teluk kami,
persinggahan di tahun datang.
1957
LAGU UNGGAS LAGU IKAN
Katak rawa-rawa
Menyanyi sendiri
Pii
Wii
Serangga pepohonan
Daun bermerahan
Angsa menggelepar
Dan berbunyi
Pii
Wii
Ikan danau jauh
Jerami yang luruh
Langit mengental
Paya-paya kristal
Unggas sembunyi
Hutan pun mati
Bunyi yang sunyi
Pii
Wii
Wii
1971
ADAKAH SUARA CEMARA
Ati
Adakah suara cemara
Mendesing menderu
padamu
Adakah melintas
sepintas
Gemersik daunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana
Adakah suara cemara
Adakah suara cemara
Mendesing menderu
padamu
Adakah lautan ladang
jagung
Mengombakkan suara itu.
1972
TAMAN DI TENGAH PULAU
KARANG
Di tengah Manhattan
menjelang musim gugur
Dalam kepungan rimba baja,
pucuknya dalam awan
Engkau terlalu bersendiri
dengan danau kecilmu
Dan perlahan melepas hijau
daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk
menyebar
Remah roti. Sementara itu
berkelepak
Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpati pun kaget
beterbangan
Suara mekanik dan racun
rimba baja
Menjajarkan pohon-pohon
duka
Musim panas terengah melepas napas
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan meratapinya
dengan geletar ranting
Orang tua itu berkemas dan
tersaruk pergi
Badai pun memutar daunan
dalam kerucut
Makin meninggi.
1963
MUSIM GUGUR TELAH TURUN DI
RUSIA
Seekor burung raksasa pada
suatu malam cuaca mengembangkan sayap-nya yang perkasa mengibas-ngibaskannya
gemuruh dan lena maka rontoklah bulu beledru di langit tua dan biru gugur dan
gugur melayang dan berbaur
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca naik mengambang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan angin agak dingin daun-daun beriozka jadi berganti warna burung raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan angin yang agak dingin
Musim gugur telah turun di Rusia.
1970
TREM BERKLENENGAN DI KOTA
SAN FRANCISCO
Pagimu yang cerah, San
Francisco, sampai padaku di atas bukit itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap
air di langitmu mencecerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela
sepanjang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang pernah
kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang silam di Geylang Road
ketika aku masih bercelana pendek dan asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan
huruf-huruf c, v, x, dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika dan asam arang kauserahkan sepenuhnya pada Los Angeles si buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan meluncur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit. Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-bagi pada deretan bangunan dinding trem kota, tulang jembatan, atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduknya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perairan dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintaan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris, lewat tingkap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris. Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya seperti bom waktu. “Aku tidak dengar Amerika menyanyi lagi” ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi.
Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda, padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering.
Yang dikunyah
lambat-lambat.
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai bunga tulip, menelisik jaringan kawat trem-trem yang berkenengan dan buang air tepat di atas kantor asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
1972
SEORANG KULI TUA DI
SETASIUN YOKOHAMA
Seorang kuli tua di
setasiun Yokohama
Ketika ekspres tengah hari
masuk dari ibukota
Berdiri agak terbungkuk di
depan peron
Handuk kecil di lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari dalam kilau jendela
kereta
Ia pun menjamah koporku
setelah menatapku
Agak lama
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Udara sangat lembab dan
angin tak bertiup
Menyeka dahi ditolaknya
lembaran uang
‘Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Ia pun kembali ke setasiun
berbata-bata
Berkaus dan bersepatu
putih
Tiba-tiba wajahnya sangat
tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Opsir Peta di Jatingaleh
berlucut senjata
Terbunuh dalam pertempuran
lima hari
Dua belas tahun yang lalu
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Hari itu musim panas di bulan Agustus
Ketika ekspres tengah hari
masuk dari ibukota
Seorang kuli di setasiun
Yokohama
Tiba-tiba wajahnya sangat
tua.
1963
PENGKHIANATAN
Siapa lagi sekarang akan
ditangkap. Menanti
Mungkin sebentar lagi
mereka akan datang mengetuk pintu
Mendorong masuk dan
menjerembabkan nasib
Di ambang
waktu. Dengan berbagai tuduhan
Barangkali agen mereka ada
di antara kita
Dengan pestol Browning di
pinggang dalam
Kita tak pernah pasti
tahu
Mengapa engkau pucat
sekali?
Intip cermin di atas
lemari
Di luar angin pepohonan
damar masih berseru
Atau jip-kah itu yang
menderu?
Cek sekali lagi: sudahkah
semua dokumen dibakar
Bersihkan sisa abu di
lubang kloset
Granat dan sten di
dinding-papan
Hapalkan nama-nama palsu
kalian
Sudjono! Hentikan goyangan
kakimu
Merokoklah. Merokok di
kolong kalau tak tahan
Udara terlalu pekap di
sini, dalam temaram
Kita makin berpeluh tapi
jari kenapa menggigil
Udara panas bergetah dengan
bau ikan sardin
Seorang bangkit pelan,
mengintip di balik gorden
Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong
Tjok dan Momo menerkamku
tak berbunyi
Dan menyumbat mulutku
Aku berontak, lepas dalam
geliat liar
Tapi badan mereka bagai
sapi Bali
Lenganku dikunci mereka ke
punggung. Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. Dan kau
diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling.
Mereka diam aneh
Lenganku mula mengulur,
lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar
melihat kawan-kawan
Mataku merah dan liar
serigala
Meneriakkan ‘Aku
pengkhianat!’
Dan aku tersedu,
tertengkurap di tengah kamar
Mereka semua
diam. Sudjono mematikan rokoknya
Aku menangis seperti anak
lima tahun
Yang kehilangan
baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. Mereka
sudah tahu semuanya
Sebentar lagi mereka datang
Aku tak tahan Budi,
tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumah, meneruskan gerakan di bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi perintah
Menggamit Tjok dan Maliki
dengan tangan perunggu
Perlahan yang lain
berangkat satu-satu
Setiap orang memerlukan
menoleh padaku sebentar
Di lantai, aku menekuri
jubin sebelah meja
Dan Momo yang akan
menjalankan perintah komandan
Berdiri dengan belatiku
telanjang di tangan.
1963
TENTANG SERSAN NURCHOLIS
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
1958
1946: LARUT MALAM SUARA
SEBUAH TRUK
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
1963
ODA PADA VAN GOGH
Pohon sipres. Kafe tua
Di ujung jalan
Sepi. Sepi jua
Langit berombak
Langit berombak
Bulan di sana
Sepi. Sepi namanya.
1964
DENGAN PUISI, AKU
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Dengan puisi aku bercinta
Berbatas cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam
mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Dengan puisi aku mengutuk
Nafas zaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya.
1965
POTRET DI BERANDA
Di beranda rumah nenekku,
di desa Baruh
Potretku telah tergantung
26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar
sulaman ibuku
Dibuatnya tatkala masih
perawan
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Di dapur rumah nenekku, nenekku renta
Tergolek drum tua pemasak
kerupuk kulit
Di atasnya sepasang tanduk
hitam berdebu
Kerbau bajak kesayangan
kakekku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Kerupuk kulit telah mengirim ibuku
Sekolah ke kota, jadi guru
Padi, lobak dan kentang
ditanam kakekku
Yang disulap subur dalam
hidayat
Dijunjung dan dipikul ke
pasar
Dalam dingin dataran tinggi
Karena ibuku yang mau jadi
guru
Dan ibuku bertemu ayahku
Dan ibuku bertemu ayahku
Yang dikirim nenekku ke
surau menyabit ilmu
Dengan ikan kolam, bawang
dan wortel
Di ujung cangkul kakekku
kukuh
Yang kembang dan berisi
dalam rahmat
Terbungkuk-bungkuk
dijunjung di hari pekan
Karena ayahku mau jadi guru
Maka lahirlah kami berenam
Maka lahirlah kami berenam
Dalam rahman
Dalam kesayangan
Dalam kesukaran
Di beranda rumah nenekku,
di desa Baruh
Potretku telah tergantung
26 tahun lamanya
Bersama gambar-gambar
buatan ibuku
Disulamnya tatkala masih
perawan.
1963
ALMAMATER
Di depan gerbangmu tua pada
hari ini
Kami menyilangkan tangan ke
dada kiri
Tegak tengadah menatap
bangunanmu
Genteng hitam dan dinding
kusam. Berlumut waktu
Untuk kali penghabisan
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Marilah kita kenangkan tahun-tahun dahulu
Hari-hari kuliah di ruang
fisika
Mengantuk pada pagi cericit
burung gereja
Praktikum. Padang
percobaan. Praktek daerah
Corong anastesi dan kilau
skalpel di kamar bedah
Suara-suara menjalar
sepanjang gang
Suara pasien yang pertama
kali kujamah
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Di aula ini, aula yang semakin kecil
Kita beragitasi, berpesta
dan berkencan
Melupakan sengitnya ujian,
tekanan gurubesar
Melepaskannya pada
hari-hari perpeloncoan
Pada filem dan musik yang
murahan
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Ya, kita sesekali butuh juga konser yang baik
Drama Sophocles, Chekov
atau ‘Jas Panjang Pesanan’
Memperdebatkan politik,
Tuhan dan para negarawan
Tentang filsafat, perempuan
serta peperangan
Bayang benua abad dahulu
lewat abad yang kini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Di manakah kau sekarang berdiri? Di abad ini
Dan bersyukurlah karena
lewat gerbangmu tua
Kau telah dilantik jadi
warga Republik Berpikir Bebas
Setelah bertahun diuji
kesetiaan dan keberanianmu
Dalam berpikir dan
menyatakan kebebasan suara hati
Berpijak di tanah air
nusantara
Dan menggarap tahun-tahun
kemerdekaan
Dengan penuh kecintaan
Dan kami bersyukur pada
Tuhan
Yang telah melebarkan
gerbang tua ini
Dan kami bersyukur pada ibu
bapa
Yang sepanjang malam
Selalu berdoa tulus dan
terbungkuk membiayai kami
Dorongan kekasih sepenuh
hati
Dan kami berhutang pada
manusia
Yang telah menjadi
guru-guru kami
Yang membayar pajak selama
ini
Serta menjaga sepeda-sepeda
kami
Pada hari ini di depan
gerbangmu tua
Kami kenangkan cemara
halamanmu dalam bau formalin
Mikroskop. Kamar obat.
Perpustakaan
Gulungan layar di kampung
nelayan
Nyanyi pohon-pohon
perkebunan
Angin hijau di
padang-padang peternakan
Deru kemarau di
padang-padang penggembalaan
Dalam mimpi teknologi, kami
kini dipanggil
Untuk menggarap tahun-tahun
kemerdekaan
Dan mencintai manusianya
Mencintai kebebasannya.
1963
1963
PEKALONGAN LIMA SORE
Kleneng bel beca
Debu aspal panggang
Sangar jalan pelabuhan
Terik kota pesisir
Tik-tik persneling Raleigh
Bungkus sarung palekat
Sungai kuning coklat
Nyanyi rumah yatim
Pejaja es lilin
Riuh Kampung Arab
Jembatan loji karatan
Genteng rumah pegadaian
Keringat pasar sepi
Kumis Raj Kapoor
Sengangar lilin batik
Deru pabrik tenun
Bal-balan Bong Cina
Harum tauto Tjarlam
Sirup kopyor dingin
Gorengan kuali tahu
Percikan minyak kelapa
Sisa bungkus megono
Panas teh melati
Tik-tok kuda dokar
Dengung DKW Hummel
Peluit sepur bomel
Klakson Debu Revolusi.
1961
ADALAH BEL KECIL DI JENDELA
Sebuah bel kecil tergantung
di jendela
Di bulan Juni
Berkelining sepi
Daun asam dan cericit burung gereja
Daun asam dan cericit burung gereja
Keletak kuda andong-andong
Yogya
Kota tua membentang dalam
debu
Sepanjang gang ditaburnya
sunyi itu
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Sebuah bel kecil tergantung di jendela
Di bulan Juli
Berke-
li-
ning
Sepi. 1965
Sepi. 1965
DARI CATATAN SEORANG
DEMONSTRAN
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa
senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba
dihancurkan
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan
lawan.
1966
DEPAN SEKRETARIAT NEGARA
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Ke luar jalanan
Kami semua menyanyi
Kami semua menyanyi
‘Gugur Bunga’
Perlahan-lahan
Perajurit ini
Perajurit ini
Membuka baretnya
Airmata tak tertahan
Di puncak Gayatri
Di puncak Gayatri
Menunduklah bendera
Di belakangnya segumpal
awan.
1966
SEORANG TUKANG RAMBUTAN
PADA ISTRINYA
“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak
sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa
itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua
ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun
harganya
Sampai kita bisa naik bis
pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas
bukan main
Terbakar muka di atas truk
terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat
rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak
kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
“Hidup tukang rambutan!
Hidup tukang rambutan!”
Dan menyoraki saya. Betul
bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari
truk, bu
Mengejar dan menyalami saya
“Hidup pak rambutan!” sorak
mereka
Saya dipanggul dan
diarak-arak sebentar
“Hidup pak rambutan!” sorak
mereka
“Terima kasih, pak, terima
kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak
bisa bicara
“Doakan perjuangan kami,
pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima
kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup
rakyat!”
Saya tersedu, bu. Saya
tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih
begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti
kita.
1966
ARITHMATIK SEDERHANA
Menyimak Adham Arsyad
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat. 1966
Selama ini kita selalu
Ragu-ragu
Dan berkata:
Dua tambah dua
Mudah-mudahan sama dengan empat. 1966
BENTENG
Sesudah siang panas yang
meletihkan
Sehabis tembakan-tembakan
yang tak bisa kita balas
Dan kita kembali ke kampus
ini berlindung
Bersandar dan berbaring,
ada yang merenung
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Di lantai bungkus nasi bertebaran
Dari para dermawan tidak
dikenal
Kulit duku dan pecahan
kulit rambutan
Lewatlah di samping
Kontingen Bandung
Ada yang berjaket Bogor.
Mereka dari mana-mana
Semuanya kumal, semuanya
tak bicara
Tapi kita tidak akan
terpatahkan
Oleh seribu senjata dan
seribu tiran
Tak sempat lagi kita pikirkan
Tak sempat lagi kita pikirkan
Keperluan-keperluan kecil
seharian
Studi, kamar-tumpangan dan
percintaan
Kita tak tahu apa yang akan
terjadi sebentar malam
Kita mesti siap saban
waktu, siap saban jam.
1966
DARI IBU SEORANG DEMONSTRAN
“Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi
menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang
lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi
kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan
penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut
matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang
memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sesaat)
Ibu relakan
Ibu relakan
Tapi jangan di saat
terakhir
Kauteriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan
kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah
setiap pagi
Sunyi dari dendam dan
kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian
pada Tuhan
Serta Rasul kita yang
tercinta
Pergilah pergi
Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini.
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
(Mereka telah berpamitan dengan ibu dicinta
Beberapa saat tangannya
meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka
bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa
kata-kata).
1966
BEBERAPA URUSAN KITA
Tentang nasib angkatan ini
Itu adalah urusan sejarah
Tapi tentang menegakkan
kebenaran
Itu urusan kita
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Apakah cuaca akan cemas di atas
Hingga selalu kita bernaung mendung
Apakah jantung kita masih berdegup kencang
Dan barisan kita selalu bukit-batu-karang?
Berjagalah terus. Berjagalah!
Siang kita bila berlucut laras senapan
Malam kita bila terancam penyergapan
Berjagalah terus. Berjagalah!
Mungkin kita tak akan melihat hari nanti
Mungkin tidak kau. Tidak aku. Siapa bisa tahu
Tapi itu urusan Tuhan
Masalah kemenangan, ketenteraman tanpa tiran
Tentang nasib angkatan ini
Itu urusan sejarah
Tetapi tentang menegakkan
kebenaran
Itu urusan kita.
1966
REFLEKSI SEORANG PEJUANG
TUA
Tentara rakyat telah
melucuti Kebatilan
Setelah mereka menyimak
deru sejarah
Dalam regu perkasa mulailah
melangkah
Karena perjuangan pada
hari-hari ini
Adalah perjuangan dari
kalbu yang murni
Belum pernah kesatuan
terasa begini eratnya
Kecuali dua puluh tahun
yang lalu
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Mahasiswa telah meninggalkan ruang-kuliahnya
Pelajar muda berlarian ke
jalan-jalan raya
Mereka kembali
menyeru-nyeru
Nama kau, Kemerdekaan
Seperti dua puluh tahun
yang lalu
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Spiral sejarah telah mengantarkan kita
Pada titik ini
Tak ada seorang pun tiran
Sanggup di tengah jalan
mengangkat tangan
Dan berseru: Berhenti!
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak ada. Dan kalau pun ada
Tidak bisa
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Karena perjuangan pada hari-hari ini
Adalah perjuangan dimulai
dari sunyi
Belum pernah kesatuan
terasa begini eratnya
Kecuali duapuluh tahun yang
lalu.
1966
sumber:http://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-taufiq-ismail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar