Senin, 13 Februari 2017

Douwes Dekker

Biografi  Douwes Dekker 


Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; lahir di PasuruanHindia Belanda8 Oktober 1879 – meninggal di BandungJawa Barat28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belandawartawanaktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Kehidupan pribadi
Douwes Dekker terlahir di PasuruanJawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann, lahir di PekalonganJawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester CornelisBatavia (sekarang JatinegaraJakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke PegangsaanJakarta Pusat.[1]
Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya bercerai.
Kemudian Douwes Dekker menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978), seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari perkawinan ini mereka tidak dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah Douwes Dekker mengetahui pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun tidak dibalas.
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Walaupun mencintai anak-anaknya, Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya, semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk. Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara Indonesia.
Masa muda
Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di MalangJawa Timur. Di sana ia menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya, ia dipecat.
Perang Boer
Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[3]Ia bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.[2] Beberapa bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya.
Sebagai wartawan yang kritis dan aktivitas awal
DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang lumayan membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.[4]
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.
Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8 Maret) ia turut membidani lahirnya Indische Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo, aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
Indische Partij
Indische Partij didirikan pada tanggal 6 September 1912 di Bandung. Organisasi ini di dirikan sebenarnya ingin menggantikan sebagai organisasi kaum Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan pada tahun 1898. Perumusan gagasan itu yaitu E.F.E. Douwes Dekker yang kemudian terkenal dengan nama Danudirja Setyabudhi. 
Ketika di Jakarta Douwes Dekker banyak bergaul dengan pelajar STOVIA, sekolah dokter untuk bumiputera. Karena akrabnya, maka rumahnya yang terletak di Jl. Kramat, Jakarta seolah-olah digunakan menjadi “perpustakaan” oleh para pelajar Stovia. Para pelajar Stovia bahkan sering mengadakan diskusi dengan Douwes Dekker di tempat tersebut. Berkat bantuan pemuda-pemuda yang menjadi tokoh pergerakan nasional maka harian Bataviaasch Nieuwsblad menyediakan ruang untuk propaganda pergerakan nasional. 
Dalam Bataviaasch Nieuwsblad Douwes Dekker banyak menulis artikel yang bersifat membela kepentingan rakyat, dan juga mengecam politik pemerintah kolonial. Sebagai contohnya dia tidak setuju kaum kapitalis yang menghendaki tetap adanya tanah partikelir di daerah Pamanukan dan Ciasem, Douwes Dekker menyatakan bahwa adanya tanah pertikelir tersebut telah menyebabkan kesengsaraan di kalangan rakyat karena tuan tanah hanya menghitung keuntungan saja tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.
Perbedaan sikap tersebut mengakibatkan Douwes Dekker keluar dari Bataviaasch Nieuwsblad. Selanjutnya dia mendirikan majalah yang dikelola sendiri yang bernama Het Tijdscrijft. Majalah tersebut terbit dua minggu sekali, bersifat ilmiah dan memuat soal-soal politik. Melalui majalah tersebut Douwes Dekker dapat mengemukakan pandangan-pandangannya dengan bebas. Oleh karena Het Tijdscrijft (1910) dianggap sudah tidak memadai lagi untuk menyampaikan gagasan-gagasan politiknya, maka Douwes Dekker kemudian mendirikan surat kabar De Expres pada tanggal 1 Maret1912 majalah dan harian tersebut ternyata mempunyai peran yang penting sebagai media massa untuk menyampaikan ide dan propaganda Indische Partij.[13]
Mulai pada tanggal15 September 1912 Douwes Dekker beserta kedua orang temannya (Brunsveld van Hulten dan van dar Poel) mengadakan perjalanan mengunjungi beberapa kota di Jawa dengan tujuan mempropagandakan perdirian organisasi politiknya (Indische Partij) yang baru didirikan pada tanggal 6 September 1912 di Bandung. Organisasi politik Indische Partij itu didirikan atas prakarsa Douwes Dekker setelah ia gagal membawa dua organisasi golongan Indo-Eropa kearah gerakan oposisi tehadap pemerintah.
Douwes Dekker telah membangunkan semangat bangsa Indonesia supaya memberontak dan melepaskan diri dari pemerintah kolonial, karenna jumlah Indo yang sedikit maka mereka harus menggabungkan diri kepada bangsa bumiputra dan berjuang besama-sama mereka.
Pada tanggal 15 September 1912 tiga tokoh penting Indische Partij (E.F.E. Douwes Dekker, Brunveld van Hulten dan van der Poel) mulai mengadakan perjalanan keliling untuk kepentingan partainya. Mereka mendatangi kota-kota Yogya, Madiun, Surabaya, Semarang, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Dari semua kota yang dikunjungi tersebut diadakan rapat yang selalu dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai perhimpunan. 
Setelah perjalanan propaganda berakhir pada tanggal 3 oktober 1912 dan cabang-cabang Indische Partij mulai bermunculan maka pda tanggal 25 Desember 1912 diadakan musyawaratan wakil-wakil Indische Partij. Dalam permusyawaratan itu maka tersusunlah Anggaran Dasar dan pengurus Indische Partij . susunan pengurusnya sebagai berikut:
Ketua : E.F.E. Douwes Dekker
Wakil ketua : dr. Tjipto Mangunkusumo
Panitra : J.G. van Ham
Bendahara : G.P. Charli
Pembantu : J.R. Agerbeek dan J.D. Brunveld van Hulten
Dengan adanya Indische Partij untuk membangun patriotisme semua Indiers terhadap Tanah Airr, yang telah memberi lapangan hidup kepada meraka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan ketatanegaraan.
Douwes Dekker pada 25 Desember 1912 mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar Indische Partij mendapat pengesahan sebagai partai politik. Permohonan tersebut ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan alasan bahwa perkumpulan ini berdasarkan politik dan mengancam hendak merusak keamanan dan ketertiban. Pada 5 Maret 1913 Indische Partij mengajukan permintaan untuk kedua kalinya, tetapi usaha ini pun kembali mengalami kegagalan. Gubernur Jenderal Belanda menujukkan sikap yang jelas bahwa pemerintah tidak akan mengakui partai subvesif yang bertujuan menentang pemerintah kolonial untuk memerdekakan Hindia Belanda untuk warga Hindia Belanda. 
Karena Indische Partij sudah dinyatakan sebagi organisasi yang terlarang, maka pada tanggal 31 Maret 1913 pucuk pimpinannya mengambil keputusan untuk mebubarkan partai tersebut. Pesan terakhir E.F.E Douwes Dekker kepada para anggotanya, agar supaya mereka pindah kedalam perkumpulan Insulinde dengan berbekal Indische Partij. Ia menyadarkan kepada para bekas anggotanya bahwa sikap pemerintah yang telah dialami itu memberi kenyataan, bahwa kita membutuhkan suatu organisasi nasional, yang berdaya upaya hendak mencapai persamaan derajat untuk seluruh bangsa Hindia (Indiers), dan persiapan-persiapan yang nyata untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air.[14]

Dalam pembuangan di Eropa
Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor di Universitas ZürichSwiss, dalam bidang ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya", menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi dengan kaum revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili, kemudian ia ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke Hindia Belanda 1920.
Kegiatan jurnalistik dan Peristiwa Polanharjo
Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo. Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan "De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik" (Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai "liga yang konyol dan kekanak-kanakan".
Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada periode ini, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita dan modal asing).
Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh Pemerintah.
Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan "mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.
Aktivitas pendidikan dan Ksatrian Instituut
Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan tertulis.
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD kemudian juga dilarang mengajar.
Kegiatan sebelum pembuangan
Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).
Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indochina Perancis. Ia juga dituduh komunis.
Pengasingan di Suriname
DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia ditempatkan di suatu kamp jauh di pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne ("Padang Yahudi").[3] Tempat itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat permukiman orang Yahudi yang kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang membuat keonaran.
Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD, yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat. Di sini kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya. Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melalui sensor.
Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Penghargaan
Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama suatu kecamatan, yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.
Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh "pengkhianat").
Dua Douwes Dekker yang berbeda
Douwes Dekker adalah nama keluarga (surname) dari Belanda, yang merupakan gabungan dari Klan Douwes dan Dekker. Dua dari anggota klan ini yang menjadi tokoh zaman penjajahan dan pergerakan di Indonesia adalah Eduard Douwes Dekker (Si Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi).




Description: http://4.bp.blogspot.com/_oe2cPGIJHWA/TUDVWNB9owI/AAAAAAAAARE/wp4aCnpaY_Q/s320/DD%2B1.jpg

Eduard Douwes Dekker

Eduard Douwes Dekker, yang mempunyai nama pena Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Dia adalah orang Belanda yang menentang keras Sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel), Douwes Dekker menceritakan penderitaan rakyat pribumi karena tanam paksa dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker adalah saudara dari kakek Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)



Description: http://1.bp.blogspot.com/_oe2cPGIJHWA/TUDVWEsaX3I/AAAAAAAAARM/YpeeiUb7czc/s320/DD%2B2.jpg

Ernest Douwes Dekker

Sementara, Ernest yang mempunyai nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (EFE Douwes Dekker) atau Danudirja Setiabudi lahir di Pasuruan 8 Oktober 1879. Ia adalah seorang peletak dasar nasionalisme. Ibunya adalah seorang Indo, karena neneknya adalah orang Jawa yang menikah pria Belanda. Sehingga darah pribumi mengalir di tubuhnya. Mungkin sebab itu juga, dia lebih suka disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Belanda. Pada awal pergerakan Nasional bersama Ki Hajar Dewantoro dan dr. Cipto Mangunkusumo yang tergabung dalam Tiga Serangkai, Danudirja Setiabudi mendirikan organisasi Indische Partij. Bersama Ki Hajar Dewantara pula ia ikut dalam dunia pendidikan. Dan mendirikan sekolah “Ksatrian Instituut” di Bandung. Danudirja meninggal dan dimakamkan di Bandung tanggal 28 Agustus 1950. Dan mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
RESENSI MAX HAVELAAR
MAX HAVELAAR
Buku ini ditulis oleh: Multatuli
Dan diterbitkan oleh Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka
480 halaman/20,5 cm
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penyunting: Susanti Priyandari
Proofreader: Wiwien Widjayanti
Desainer & Fotografer Sampul: Dodi Rosadi & Ubaidillah Muchtar (Taman Baca Multatuli)

Ringkasan:
Max Havelaar, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten Lebak, Banten, pada abad ke-19. Douwes Dekker terusik nuraninya melihat penerapan sistem tanam paksa oleh pemerintah Belanda yang menindas bumiputera. Dengan nama pena Multatuli, yang berarti aku menderita, dia mengisahkan kekejaman sistem tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin, dan menderita. Mereka diperas oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya diri. Hasilnya, Belanda menerapkan Politik Etis dengan mendidik kaum pribumi elite sebagai usaha “membayar” utang mereka kepada pribumi.
Tragis, luucu, dan humanis, Max Havelaar, salah satu karya klasik yang mendunia. Kemunculannya menggemparkan dan mengusik nurani. Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam film dan drama, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh pembaca sejak terbit tahun 1860 hingga kini.
Pembahasan Isi Buku:
Ada 3 sudut pandang buku ini yaitu melalui kacamata Batavus Droogstoppel si Makelar Kopi yang akan mewarnai beberapa bab. Sudut pandang kedua adalah milik Max Havelaar yang disusun oleh Stern. Sudut pandang terakhir (yang terdapat pada beberapa lembar terakhir) adalah milik Multatuli yang mengambil alih semua tokoh dan cerita yang ditulisnya untuk menampar pemerintah William Ketiga.
Beberapa tokoh menonjol dalam novel ini:
Batavus Droogstoppel, adalah makelar kopi yang hidup dalam pakem, cenderung menjadi orang dengan pikiran menyebalkan dalam buku ini. Ia mengatakan dirinya adalah pekerja keras dan senang menjunjung kebenaran serta menasbihkan diri bahwa ia orang yang jujur. Tuan Droogstoppel tidak menyukai puisi-puisi yang melankolis, dan adegan-adegan di pentas drama yang tidak logis (seperti tidak ada orang kaya mau menikahi orang miskin), hal-hal berisi kebenaran seperti itu. Ia mencemooh seorang pegawai yang merayu anak pemilik perusahaan dan membawanya kawin lari. Ia rajin ke gereja dan berdoa kepada Tuhan. Ia mengutuk orang-orang kafir. Ia mengutuk orang-orang yang kekurangan tapi mau memberi kepada orang lain padahal mereka belum mampu mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Ia menganggap orang-orang Hindia kafir karena belum mengenal Tuhan sehingga mereka layak diperbudak, tenaganya layak diperas tanpa bayaran yang sesuai. Ia menganggap sudah sepantasnya orang-orang Belanda hidup berkecukupan karena agama mencerahkan mereka.
Sjaalmanadalah teman masa sekolah Droogstoppel yang menyerahkan catatan-catatannya semasa di Hindia-Belanda kepada pria itu sehingga Droogstoppel atas dorongan orang-orang mau mengumpulkan kisah-kisah Sjaalman dan membukukannya karena pria itu memiliki pengetahuan tentang kopi. Menurut Droogstoppel, Sjaalman yang miskin layak hidup seperti itu karena ia malas dan arogan. Dulu di masa lalu, Sjaalman adalah satu-satunya orang yang menyelamatkan Droogstoppel dari pedagang parfum Yunani yang mau menghajarnya, dia membela Droogstoppel dari bogem mentah namun Drogstoppel meninggalkannya begitu saja, kabur menyelamatkan dirinya sendiri. Sjaalman memiliki istri (dari kalangan baik-baik dan terpandang) yang sering menangis dan dikatai Droogstoppel dalam hati sebagai perempuan yang kurang bersyukur terhadap hidupnya.
Max Havelaar,adalah tokoh utama dalam cerita ini dengan perasaan yang sangat halus dan peka terhadap sekelilingnya. Ia senang membantu orang-orang disekelilingnya sampai melupakan kehidupan dan kebutuhannya sendiri, karena sifatnya ini ia sering merugi. Namun tampaknya puas dengan dirinya yang manusiawi dan idealis.
Tine, adalah istri Max, yang sangat memuja suaminya dan sangat mengenal suaminya, ia rela hidup susah dengan pria itu, harus mengencangkan ikat pinggang dan memiliki banyak hutang. Istri yang menyupport keputusan yang diambil suaminya. Pada masanya, dulu, ia membayarkan hutang-hutang Max Havelaar di Natal saat ia dituduh melakukan kelalaian pencatatan pembukuan, padahal Max tidak perlu membayar hutang tersebut, karena hutang tersebut mengada-ada, merupakan skenario yang disusun oleh Residen saat ia bertugas di sana.
Saidjah, adalah tokoh yang diciptakan Max, salah satu penduduk Parang Kudjang yang kehidupannya dirampas oleh pejabat pribumi dan kompeni.
 Garis besar buku ini menceritakan kisah Max Havelaar sebelum, saat, dan ketika ia diberhentikan menjadi Asisten Residen Lebak dan dipindah tugaskan ke tempat lain. Namun karena harga dirinya, ia memilih untuk mengundurkan diri saat itu juga, namun masih tetap memperjuangkan nasib rakyat Lebak dengan membawa masalahnya ke hadapan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, namun apa daya Sang Gubernur Jenderal tidak mau ditemui, mencari-cari alasan tidak dapat ditemui. Kita akan menyukai cara Multatuli menyampaikan ide-idenya, komentar-komentarnya, sindiran-sindiranya.
Akhirnya Max dipindah tugaskan ke Lebak dan memutuskan untuk menggulingkan rezim Bupati Lebak yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya seperti merampas kerbau-kerbau mereka dan menyuruh mereka menggarap ladangnya tanpa dibayar, sehingga terjadilah bencana kelaparan dan ketidakmampuan rakyat membayar pajak terhadap negara; kemiskinan tiada akhir dan kerja paksa. Seperti pendahulunya Tuan Slothering (yang kabarnya meninggal karena diracun; sebab ia memperjuangkan hal yang sama seperti Havelaar) pada akhirnya Max juga dijegal oleh orang-orang yang tidak menyukai tindakannya yang ingin memenjarakan Bupati Lebak karena kesewenang-wenangannya, padahal ia sudah memberi teguran-teguran halus, berharap Sang Bupati akan berubah dan menjadi lebih lembut kepada rakyatnya, namun itu tidak pernah terjadi.
Sebelum dipindahtugaskan ke Lebak, semasa di Natal, ia juga menghadapi konflik yang sama peliknya, ia diskorsing oleh atasannya selama 9 bulan karena menyindir kekejian atasannya menggunakan epigram; Jenderal van Damme (yang membabat habis orang Sumatera karena terobsesi Napolleon), namun dipengadilan Max dikenal sebagai pencuri kalkun yang kelaparan karena selama masa tahanan itu ia tidak diberi biaya hidup sampai menderita kelaparan, jadi ia membuat lelucon dengan mencuri satu kalkun van Damme, padahal kenyataannya adalah karena ia memberikan sindiran menyentil kepada perbuatan-perbuatan tidak manusiawi van Damme, namun fakta itu tidak pernah dibahas di pengadilan. Masih dalam konflik di Natal, ada sebuah kejadian dimana seorang saksi dipaksa berbohong bahkan ada yang dilenyapkan. Konfliknya pun pelik, melibatkan kisah pribumi-pribumi di sana sampai pada akhirnya untuk kebaikan yang lebih besar seorang bernama Pamaga dijadikan kambing hitam, ia dijatuhi hukuman kerja paksa di Jawa atas tuduhan percobaan pembunuhan kepada pemimpin pribumi setempat.
Beberapa bab seperti 1-5, kita akan diajak mengarungi pikirannya Droogstoppel yang agak membosankan. Tapi kita akan menemukan fakta-fakta tentang sifat dasar orang Jawa yang nrimo padum, mereka sangat tunduk pada penguasa dibandingkan orang-orang Sumatera yang Islamnya sudah kental, mereka fanatik, dan lebih tidak bisa ditakhlukan (terutama Aceh), banyak pemberontakan pecah dengan alasan jihad di Sumatera. Begitu pula banyak pejabat-pejabat yang menguras tenaga rakyat untuk menghasilkan uang karena mereka terobsesi naik haji ke Mekkah—setidaknya inilah yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di Banten. Kita juga akan melihat pola masyarakat kita yang masih marhaenis di sini, sejak jaman dulu sampai jaman sekarang, belum berubah. Buku ini menyimpan protes bisu bagaimana rakyat-rakyat yang marhaenis itu (mereka punya sawah sendiri dikelola sendiri) dipaksa mengolah tanah Rajanya (Bupati Lebak) sehingga terjadi kelaparan, banyak yang mati, terutama tenaga-tenaga produktif, bahkan sampai ibu-ibu menjual anak-anak mereka untuk makan. Dan tidak pernah masalah ini dikatakan bahwa ini salah pemerintah, selalu yang disalahkan hama atau musim tapi tidak pernah kerakusan pemerintah. Di sini juga kita akan menyadari bahwa Eropa (terutama Belanda) datang ke Indonesia membawa misi mulia selain gold dan glory-nya, mereka membawa GOSPEL. Yaitu menyebarkan agama. Seorang Gubernur Jenderal yang dikirim ke Hindia oleh Raja, sering kali diekspektasikan sebagai orang yang mumpuni untuk mengemban tugas mulia ini, meskipun sebenar-benarnya kebanyakan dari Gubernur Jenderal ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan soal masalah-masalah pelik di Hindia. Mereka adalah orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan, lalu saat masa jabatannya segera habis adalah orang-orang yang merindukan rumahnya sehingga melalaikan pekerjaannya.
Bab 8, unik, karena memberitahu kita tidak semua Belanda itu tiran dan pribumi adalah si tertindas. Banyak orang Belanda yang humanis dan manusiawi seperti Max. Banyak orang pribumi yang seperti Bupati Lebak. Belanda yang awalnya membawa misi mulia membiarkan pribumi dengan gaya hidupnya yang jauh lebih besar dari gaya hidup orang Belanda berlaku semena-mena, tak jarang banyak yang juga mengambil keuntungan untuk dirinya, menimbun uang dan hidup enak setelah ia pensiun. Karena semua orang yang pernah bekerja di Hindia dan kembali ke Belanda, mereka hidup enak dan mewah, memiliki uang yang banyak, rumah yang bagus, fasilitas nomor satu. Tapi banyak juga pejabat Belanda yang bekerja di Indonesia hidup tertekan dan miskin karena tidak mau korup, hidup mereka pas-pasan dan saat kembali ke Belanda mereka hidup tidak lebih baik dari gelandangan. Contohnya Sjaalman.
Bab 12, 13, 14 adalah kisah-kisah Max selama di Sumatera.
Bab 17 adalah Bab yang ditunggu-tunggu, kisah Saidjah dan Adinda yang mengharukan, bagian yang paling seru dan paling sedih dalam buku ini. Keluarga Saidjah memiliki seekor kerbau yang dirampas Bupati Lebak untuk menjamu tamu-tamunya. Padahal kerbau itu satu-satunya alat untuk membajak sawah, jika mereka tidak membajak sawah mereka tidak akan mampu membayar pajak yang dibebankan pemerintah. Jadi, keluarga Saidjah membeli lagi sebuah kerbau dengan uang penjualan keris bapaknya ke orang China. Dikisahkan kerbaunya sangat kuat dan dekat dengan Saidjah, kerbau itu penurut, namun kerbau ini lagi-lagi di rampas. Saidjah sangat sedih, dan saat ayahnya hendak membeli lagi kerbau ketiga dari uang penjualan pengait kelambu, ia menanyakan keadaan kerbaunya apakah mereka memotongnya atau tidak. Kerbau ketiga ini tidak sekuat kerbau kedua, namun tetap memiliki hubungan emosional dengan Saidjah. Di Parang Kujang, anak-anak naik ke atas kerbaunya sambil membajak sawah, saat itu muncul lah macan dari dalam hutan, semua anak-anak termasuk Adinda lari. Saidjah yang berusaha menyelamatkan kerbaunya terlambat lari, dia diterjang macan namun diselamatkan si kerbau hingga kerbau itu terluka. Segeralah si kerbau menjadi kerbau kesayangan saat ia berhasil membawa Saidjah hidup-hidup, kerbau itu diobati. Namun tak berapa lama kerbau itu dirampas lagi oleh Bupati. Keluarga Saidjah tidak lagi punya uang untuk membeli kerbau, ayah Saidjah kabur, melarikan diri ke Bogor, namun karena tidak ada surat jalan ia dihukum. Beliau mati dipenjara, tak berapa lama ibunya pun menyusul. Akhirnya dia memutuskan pergi ke Batavia untuk mencari uang supaya dapat membeli kerbau lagi, ia berjanji kepada Adinda yang menjadi tunangannya sejak dulu. Dalam perjalanannya ia belajar membuat topi jerami, topi ini biasanya diekspor ke Manila. Lalu Saidjah melanjutkan lagi perjalanannya, ia bekerja sebagai kusir awalnya, namun karena gigih ia diangkat sebagai pelayan. Majikannya sayang kepadanya, ia hidup kecukupan sampai 3 tahun kemudian memutuskan kembali ke Parang Kudjang untuk menemui Adinda. Namun Adinda sudah tidak ada di sana, keluarga Adinda pergi ke Lampung, menjadi buronan karena tidak sanggup membayar pajak. Lampung adalah tempat orang-orang di Banten melarikan diri untuk menjadi pemberontak karena tekanan kolonial dan pejabat pribumi. Namun saat sampai di sana ia mendapati Andinda yang menunggunya juga sudah mati.
Bab-bab selanjutnya berisi surat menyurat Max kepada atasannya di Lebak dan bagaimana akhirnya ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya, mengundurkan diri sampai akhirnya Multatuli mengambil alih cerita.
 Kekurangan buku ini adalah kita akan dibuat pusing dengan kisahnya yang tidak beraturan, meloncat-loncat, dari cerita A ke B ke C kembali ke A ke C lagi, seperti itu, jadi harus benar-benar jeli ketika membacanya. Tidak cukup hanya sekali kita membaca buku ini untuk bisa menyerap seluruh isinya, butuh berkali-kali. Jangan lupa siapkan catatan, sticky note, etc sebagai bantuan.
Kelebihan buku ini adalah kita akan mendapatkan banyak sekali pengetahuan tentang pejabat pribumi kita, pejabat Belanda, dan juga kehidupan rakyat kita saat itu. Multatuli berhasil mengambarkannya dengan baik dan membuat kita semua merenungi setiap kata-katanya dan kisah-kisahnya. Benar-benar kisah yang tragis dan membuat kita tersentuh serta berfikir. Apakah kita masih sama dengan 150 tahun lalu? Atau kita sudah berubah. Karena tampaknya sekalipun pergeseran zaman itu setiap detik kita langkahi tetapi problema-problema yang mencekik leher kita sejak zaman dulu sama sekarang masih itu-itu saja; seolah sejarah punya cara sendiri untuk mengulangi kisahnya.
Buku ini adalah salah satu buku yang wajib kita baca, sebagai orang Indonesia, apalagi jika ingin menelusuri benang merah pemerintahan masa lalu hingga masa kini. Soekarno membacanya, begitu juga dengan Kartini karena buku ini adalah buku yang kuat, saksi sejarah kita yang kelam.@LarasestuHsr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments system

Disqus Shortname