Biografi Douwes Dekker
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya
dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja
Setiabudi; lahir di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun) adalah seorang
pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak
dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah
penjajahan Hindia Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk Hindia Belanda yang
merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia,
selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.
Kehidupan
pribadi
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1879, sebagaimana yang dia
tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar di Universitas Zurich,
September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, adalah seorang
agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya,
memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan
dari ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa Neumann,
lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.[1] Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4
bersaudara, dan keluarganya pun sering berpindah-pindah. Saudaranya yang
perempuan dan laki-laki, yakni Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir
sewaktu keluarga Dekker berada di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari situ, keluarga Dekker
berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]
Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte
Deije (1885-1968), anak dokter campuran Jerman-Belanda pada tahun 1903, dan mendapat lima anak, namun
dua di antaranya meninggal sewaktu bayi (keduanya laki-laki). Yang bertahan
hidup semuanya perempuan. Perkawinan ini kandas pada tahun 1919 dan keduanya
bercerai.
Kemudian Douwes Dekker menikah
lagi dengan Johanna Petronella Mossel (1905-1978),
seorang Indo keturunan Yahudi, pada tahun 1927. Johanna adalah guru yang banyak
membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut,
sekolah yang didirikan Douwes Dekker. Dari perkawinan ini mereka tidak
dikaruniai anak. Di saat Douwes Dekker dibuang ke Suriname pada tahun 1941 pasangan ini harus berpisah, dan
di kala itu kemudian Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo, yang juga
merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus), tanpa
perceraian resmi terlebih dahulu. Tidak jelas apakah Douwes Dekker mengetahui
pernikahan ini karena ia selama dalam pengasingan tetap berkirim surat namun
tidak dibalas.
Sewaktu Douwes Dekker
"kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda (1946), ia
menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta Geertzema née
Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly kemudian
menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran pulang ke Indonesia agar
tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa
Johanna telah menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikahi
Nelly, pada tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja
Setiabuddhi dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang
diusulkan oleh Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne
E. Evans pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Walaupun mencintai anak-anaknya,
Douwes Dekker tampaknya terlalu berfokus pada perjuangan idealismenya sehingga
perhatian pada keluarga agak kurang dalam. Ia pernah berkata kepada kakak
perempuannya, Adelin, kalau yang ia perjuangkan adalah untuk memberi masa depan
yang baik kepada anak-anaknya di Hindia kelak yang merdeka. Pada kenyataannya,
semua anaknya meninggalkan Indonesia menuju ke Belanda ketika Jepang masuk.
Demikian pula semua saudaranya, tidak ada yang memilih menjadi warga negara
Indonesia.
Masa muda
Pendidikan dasar ditempuh Nes di
Pasuruan. Sekolah lanjutan pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah ke Gymnasium Koning Willem III School,
sekolah elit setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia menyaksikan
perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan sering kali membela
mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai rekan-rekan kerja, namun
disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat konflik dengan manajernya, ia dipindah
ke perkebunan tebu "Padjarakan" di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan
manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan padi petani. Akibatnya,
ia dipecat.
Perang Boer
Menganggur dan kematian mendadak ibunya, membuat Nes memutuskan
berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut
dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris.[3]Ia
bahkan menjadi warga negara Republik Transvaal.[2] Beberapa
bulan kemudian kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, menyusul. Nes
tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon.
Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan
pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia
Belanda terhadap warganya.
Sebagai
wartawan yang kritis dan aktivitas awal
DD dipulangkan ke Hindia Belanda pada tahun 1902, dan bekerja sebagai
agen pengiriman KPM, perusahaan pengiriman milik negara. Penghasilannya yang
lumayan membuatnya berani menyunting Clara Charlotte Deije, putri seorang
dokter asal Jerman yang tinggal di Hindia Belanda, pada tahun 1903.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat
kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief.
Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas
jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di
Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia
menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907,
tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel
yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908
di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi
bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het
bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie"
("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah
di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir
Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama,
"Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?"
("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan
koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer
Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya.
Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.[4]
Rumah DD, pada saat yang sama, yang terletak di dekat Stovia menjadi
tempat berkumpul para perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia,
seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo, untuk belajar dan
berdiskusi. Budi Utomo (BO), organisasi yang diklaim
sebagai organisasi nasional pertama, lahir atas bantuannya. Ia bahkan
menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta.
Aspek pendidikan tak luput dari perhatian DD. Pada tahun 1910 (8
Maret) ia turut membidani lahirnya Indische
Universiteit Vereeniging (IUV), suatu badan penggalang dana
untuk memungkinkan dibangunnya lembaga pendidikan tinggi (universitas) di
Hindia Belanda. Di dalam IUV terdapat orang Belanda, orang-orang Indo,
aristokrat Banten dan perwakilan dari organisasi pendidikan kaum Tionghoa THHK.
Indische Partij
Indische Partij didirikan pada tanggal 6 September 1912 di Bandung.
Organisasi ini di dirikan sebenarnya ingin menggantikan sebagai organisasi kaum
Indo dan Eropa di Indonesia yang didirikan pada tahun 1898. Perumusan gagasan
itu yaitu E.F.E. Douwes Dekker yang kemudian terkenal dengan nama Danudirja
Setyabudhi.
Ketika di Jakarta Douwes Dekker banyak bergaul dengan pelajar
STOVIA, sekolah dokter untuk bumiputera. Karena akrabnya, maka rumahnya yang
terletak di Jl. Kramat, Jakarta seolah-olah digunakan menjadi “perpustakaan”
oleh para pelajar Stovia. Para pelajar Stovia bahkan sering mengadakan diskusi
dengan Douwes Dekker di tempat tersebut. Berkat bantuan pemuda-pemuda yang
menjadi tokoh pergerakan nasional maka harian Bataviaasch Nieuwsblad menyediakan
ruang untuk propaganda pergerakan nasional.
Dalam Bataviaasch Nieuwsblad Douwes Dekker banyak menulis artikel
yang bersifat membela kepentingan rakyat, dan juga mengecam politik pemerintah
kolonial. Sebagai contohnya dia tidak setuju kaum kapitalis yang menghendaki
tetap adanya tanah partikelir di daerah Pamanukan dan Ciasem, Douwes Dekker
menyatakan bahwa adanya tanah pertikelir tersebut telah menyebabkan
kesengsaraan di kalangan rakyat karena tuan tanah hanya menghitung keuntungan
saja tanpa memperhatikan kepentingan rakyat.
Perbedaan sikap tersebut mengakibatkan Douwes Dekker keluar dari
Bataviaasch Nieuwsblad. Selanjutnya dia mendirikan majalah yang dikelola
sendiri yang bernama Het Tijdscrijft. Majalah tersebut terbit dua minggu
sekali, bersifat ilmiah dan memuat soal-soal politik. Melalui majalah tersebut
Douwes Dekker dapat mengemukakan pandangan-pandangannya dengan bebas. Oleh
karena Het Tijdscrijft (1910) dianggap sudah tidak memadai lagi untuk
menyampaikan gagasan-gagasan politiknya, maka Douwes Dekker kemudian mendirikan
surat kabar De Expres pada tanggal 1 Maret1912 majalah dan harian tersebut
ternyata mempunyai peran yang penting sebagai media massa untuk menyampaikan
ide dan propaganda Indische Partij.[13]
Mulai pada tanggal15 September 1912 Douwes Dekker beserta kedua
orang temannya (Brunsveld van Hulten dan van dar Poel) mengadakan perjalanan
mengunjungi beberapa kota di Jawa dengan tujuan mempropagandakan perdirian
organisasi politiknya (Indische Partij) yang baru didirikan pada tanggal 6
September 1912 di Bandung. Organisasi politik Indische Partij itu didirikan
atas prakarsa Douwes Dekker setelah ia gagal membawa dua organisasi golongan
Indo-Eropa kearah gerakan oposisi tehadap pemerintah.
Douwes Dekker telah membangunkan semangat bangsa Indonesia supaya
memberontak dan melepaskan diri dari pemerintah kolonial, karenna jumlah Indo
yang sedikit maka mereka harus menggabungkan diri kepada bangsa bumiputra dan
berjuang besama-sama mereka.
Pada tanggal 15 September 1912 tiga tokoh penting Indische Partij
(E.F.E. Douwes Dekker, Brunveld van Hulten dan van der Poel) mulai mengadakan
perjalanan keliling untuk kepentingan partainya. Mereka mendatangi kota-kota
Yogya, Madiun, Surabaya, Semarang, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Dari semua
kota yang dikunjungi tersebut diadakan rapat yang selalu dihadiri oleh ribuan
orang dari berbagai perhimpunan.
Setelah perjalanan propaganda berakhir pada tanggal 3 oktober 1912
dan cabang-cabang Indische Partij mulai bermunculan maka pda tanggal 25
Desember 1912 diadakan musyawaratan wakil-wakil Indische Partij. Dalam
permusyawaratan itu maka tersusunlah Anggaran Dasar dan pengurus Indische
Partij . susunan pengurusnya sebagai berikut:
Ketua : E.F.E. Douwes Dekker
Wakil ketua : dr. Tjipto Mangunkusumo
Panitra : J.G. van Ham
Bendahara : G.P. Charli
Pembantu : J.R. Agerbeek dan J.D. Brunveld van Hulten
Dengan adanya Indische Partij untuk membangun patriotisme semua
Indiers terhadap Tanah Airr, yang telah memberi lapangan hidup kepada meraka,
agar mereka mendapat dorongan untuk bekerja sama atas dasar persamaan
ketatanegaraan.
Douwes Dekker pada 25 Desember 1912 mengajukan permohonan kepada
Pemerintah Hindia Belanda agar Indische Partij mendapat pengesahan sebagai
partai politik. Permohonan tersebut ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda
dengan alasan bahwa perkumpulan ini berdasarkan politik dan mengancam hendak
merusak keamanan dan ketertiban. Pada 5 Maret 1913 Indische Partij mengajukan
permintaan untuk kedua kalinya, tetapi usaha ini pun kembali mengalami
kegagalan. Gubernur Jenderal Belanda menujukkan sikap yang jelas bahwa
pemerintah tidak akan mengakui partai subvesif yang bertujuan menentang
pemerintah kolonial untuk memerdekakan Hindia Belanda untuk warga Hindia
Belanda.
Karena Indische Partij sudah dinyatakan sebagi organisasi yang
terlarang, maka pada tanggal 31 Maret 1913 pucuk pimpinannya mengambil
keputusan untuk mebubarkan partai tersebut. Pesan terakhir E.F.E Douwes Dekker
kepada para anggotanya, agar supaya mereka pindah kedalam perkumpulan Insulinde
dengan berbekal Indische Partij. Ia menyadarkan kepada para bekas anggotanya
bahwa sikap pemerintah yang telah dialami itu memberi kenyataan, bahwa kita
membutuhkan suatu organisasi nasional, yang berdaya upaya hendak mencapai
persamaan derajat untuk seluruh bangsa Hindia (Indiers), dan
persiapan-persiapan yang nyata untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air.[14]
Dalam
pembuangan di Eropa
Masa di Eropa dimanfaatkan oleh Nes untuk mengambil program doktor
di Universitas Zürich, Swiss, dalam bidang
ekonomi. Di sini ia tinggal bersama-sama keluarganya. Gelar doktor diperoleh
secara agak kontroversial dan dengan nilai "serendah-rendahnya",
menurut istilah salah satu pengujinya. Karena di Swis ia terlibat konspirasi
dengan kaum revolusioner India, ia ditangkap di Hong Kong dan diadili, kemudian
ia ditahan di Singapura (1918). Setelah dua tahun dipenjara, ia pulang ke
Hindia Belanda 1920.
Kegiatan
jurnalistik dan Peristiwa Polanharjo
Sekembalinya ia ke Batavia setelah dipenjara DD aktif kembali dalam
dunia jurnalistik dan organisasi. Ia menjadi redaktur organ informasi Insulinde yang
bernama De Beweging. Ia menulis beberapa seri artikel yang banyak
menyindir kalangan pro-koloni serta sikap kebanyakan kaumnya: kaum Indo.
Targetnya sebetulnya adalah de-eropanisasi orang Indo, agar mereka menyadari
bahwa demi masa depan mereka berada di pihak pribumi, bukan seperti yang
terjadi, berpihak ke Belanda. Organisasi kaum Indo yang baru dibentuk, Indisch
Europeesch Verbond (IEV), dikritiknya dalam seri tulisan
"De tien geboden" (Sepuluh Perintah Tuhan) dan "Njo Indrik"
(Sinyo Hendrik). Pada seri yang disebut terakhir, IEV dicap olehnya sebagai
"liga yang konyol dan kekanak-kanakan".
Sejumlah pamflet lepas yang cukup dikenal juga ditulisnya pada
periode ini, seperti "Een Natie in de maak" (Suatu bangsa tengah
terbentuk) dan "Ons volk en het buitenlandsche kapitaal" (Bangsa kita
dan modal asing).
Pada rentang masa ini dibentuk pula Nationaal
Indische Partij (NIP), sebagai organisasi pelanjut Indische
Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menimbulkan perpecahan di
kalangan anggota Insulinde antara yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan
yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia
pribumi). NIP akhirnya bernasib sama seperti IP: tidak diizinkan oleh
Pemerintah.
Pada tahun 1919, DD terlibat (atau tersangkut) dalam peristiwa
protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Ia terkena kasus ini karena
dianggap mengompori para petani dalam pertemuan mereka dengan orang-orang
Insulinde cabang Surakarta, yang ia hadiri pula. Pengadilan dilakukan pada
tahun 1920 di Semarang. Hasilnya, ia dibebaskan; namun kasus baru menyusul dari
Batavia: ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang dipimpinnya. Kali ini
ia harus melindungi seseorang (sebagai redaktur De Beweging) yang
menulis suatu komentar yang di dalamnya tertulis "Membebaskan negeri ini
adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!". Yang membuatnya kecewa adalah
ternyata alasan penyelidikan bukanlah semata tulisan itu, melainkan
"mentalitas" sang penulis (dan dituduhkan ke DD). Setelah melalui
pembelaan yang panjang, DD divonis bebas oleh pengadilan.
Aktivitas
pendidikan dan Ksatrian Instituut
Sekeluarnya dari tahanan dan rentetan pengadilan, DD cenderung
meninggalkan kegiatan jurnalistik dan menyibukkan diri dalam
penulisan sejumlah buku semi-ilmiah dan melakukan penangkaran anjing gembala
Jerman dan aktif dalam organisasinya. Prestasinya cukup
mengesankan, karena salah satu anjingnya memenangi kontes dan bahkan mampu
menjawab beberapa pertanyaan berhitung dan menjawab beberapa pertanyaan
tertulis.
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu
sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa,
ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia
banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa
Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di
dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya
ditulis oleh Nes sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial
dan pro-Jepang,
pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan
kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan
politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. DD
kemudian juga dilarang mengajar.
Kegiatan
sebelum pembuangan
Karena dilarang mengajar, DD kemudian mencari penghasilan dengan
bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Ini membuatnya dekat
dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil
pribumi di Volksraad. Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda
masih trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV)
tahun 1927, memecahkan masalah ekonomi akibat krisis
keuangan 1929, dan harus menghadapi perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan
warga Eropa (Europaeer).
Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia,
dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 mengakibatkan ditangkapnya ribuan
orang Jerman di Hindia Belanda, berikut orang-orang Eropa lain yang diduga
berafiliasi Nazi. DD yang memang sudah "dipantau", akhirnya ikut
digaruk karena dianggap kolaborator Jepang, yang mulai menyerang Indochina Perancis. Ia juga dituduh komunis.
Pengasingan di
Suriname
DD ditangkap dan dibuang ke Suriname pada
tahun 1941 melalui Belanda. Di sana ia ditempatkan di suatu kamp jauh di
pedalaman Sungai Suriname yang bernama Jodensavanne ("Padang
Yahudi").[3] Tempat
itu pada abad ke-17 hingga ke-19 pernah menjadi tempat permukiman orang Yahudi yang
kemudian ditinggalkan karena kemudian banyak pendatang yang membuat keonaran.
Kondisi kehidupan di kamp sangat memprihatinkan. Sampai-sampai DD,
yang waktu itu sudah memasuki usia 60-an, sempat kehilangan kemampuan melihat.
Di sini kehidupannya sangat tertekan karena ia sangat merindukan keluarganya.
Surat-menyurat dilakukannya melalui Palang Merah
Internasional dan harus melalui sensor.
Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan)
di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah
orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk DD. Di Belanda ia bertemu dengan
Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian
menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui
petualangan yang mendebarkan karena DD harus mengganti nama dan menghindari
petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka
berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia
pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Perjuangan pada
masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi
penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri
negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam
waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi
negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di
delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai
kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian
Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap
"komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga
menempati salah satu rumah di Kaliurang.
Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk
tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi
Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta
untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah
dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke
Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah
renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa
Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian
Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan
autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku
sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis
di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der
Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.
Penghargaan
Jasa DD dalam perintisan kemerdekaan diekspresikan dalam banyak
hal. Di setiap kota besar dapat dijumpai jalan yang dinamakan menurut namanya:
Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat rumahnya berdiri, sekarang
bernama Jalan Setiabudi. Di Jakarta bahkan namanya dipakai sebagai nama
suatu kecamatan,
yakni Kecamatan Setiabudi di Jakarta
Selatan.
Di Belanda, nama DD juga dihormati sebagai orang yang berjasa dalam
meluruskan arah kolonialisme (meskipun hampir sepanjang hidupnya ia
berseberangan posisi politik dengan pemerintah kolonial Belanda; bahkan dituduh
"pengkhianat").
Dua Douwes Dekker yang berbeda
Douwes Dekker adalah nama keluarga (surname) dari Belanda, yang
merupakan gabungan dari Klan Douwes dan Dekker. Dua dari anggota klan ini yang
menjadi tokoh zaman penjajahan dan pergerakan di Indonesia adalah Eduard Douwes
Dekker (Si Multatuli) dan Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi).
Eduard Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker, yang mempunyai nama pena Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820. Dia adalah orang Belanda yang menentang keras Sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel), Douwes Dekker menceritakan penderitaan rakyat pribumi karena tanam paksa dalam bukunya yang berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker adalah saudara dari kakek Ernest Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)
Ernest Douwes Dekker
Sementara, Ernest yang mempunyai nama lengkap Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (EFE Douwes Dekker) atau Danudirja Setiabudi lahir di Pasuruan 8 Oktober 1879. Ia adalah seorang peletak dasar nasionalisme. Ibunya adalah seorang Indo, karena neneknya adalah orang Jawa yang menikah pria Belanda. Sehingga darah pribumi mengalir di tubuhnya. Mungkin sebab itu juga, dia lebih suka disebut sebagai orang Indonesia daripada orang Belanda. Pada awal pergerakan Nasional bersama Ki Hajar Dewantoro dan dr. Cipto Mangunkusumo yang tergabung dalam Tiga Serangkai, Danudirja Setiabudi mendirikan organisasi Indische Partij. Bersama Ki Hajar Dewantara pula ia ikut dalam dunia pendidikan. Dan mendirikan sekolah “Ksatrian Instituut” di Bandung. Danudirja meninggal dan dimakamkan di Bandung tanggal 28 Agustus 1950. Dan mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
RESENSI MAX HAVELAAR
MAX HAVELAAR
Buku ini ditulis oleh: Multatuli
Dan diterbitkan oleh Penerbit Qanita, PT Mizan Pustaka
480 halaman/20,5 cm
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Penyunting: Susanti Priyandari
Proofreader: Wiwien Widjayanti
Desainer & Fotografer Sampul: Dodi Rosadi & Ubaidillah
Muchtar (Taman Baca Multatuli)
Ringkasan:
Max Havelaar, ditulis oleh Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten Lebak, Banten,
pada abad ke-19. Douwes Dekker terusik nuraninya melihat penerapan sistem tanam
paksa oleh pemerintah Belanda yang menindas bumiputera. Dengan nama pena
Multatuli, yang berarti aku menderita, dia mengisahkan kekejaman sistem tanam
paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin, dan menderita. Mereka
diperas oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya
diri. Hasilnya, Belanda menerapkan Politik Etis dengan mendidik kaum pribumi
elite sebagai usaha “membayar” utang mereka kepada pribumi.
Tragis, luucu, dan humanis, Max Havelaar, salah satu
karya klasik yang mendunia. Kemunculannya menggemparkan dan mengusik nurani.
Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam film dan
drama, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh pembaca sejak
terbit tahun 1860 hingga kini.
Pembahasan Isi Buku:
Ada 3 sudut pandang buku ini yaitu melalui kacamata Batavus
Droogstoppel si Makelar Kopi yang akan mewarnai beberapa bab. Sudut pandang
kedua adalah milik Max Havelaar yang disusun oleh Stern. Sudut pandang terakhir
(yang terdapat pada beberapa lembar terakhir) adalah milik Multatuli yang
mengambil alih semua tokoh dan cerita yang ditulisnya untuk menampar pemerintah
William Ketiga.
Beberapa tokoh menonjol dalam novel ini:
Batavus Droogstoppel, adalah makelar kopi yang hidup dalam pakem, cenderung menjadi
orang dengan pikiran menyebalkan dalam buku ini. Ia mengatakan dirinya adalah
pekerja keras dan senang menjunjung kebenaran serta menasbihkan diri bahwa ia
orang yang jujur. Tuan Droogstoppel tidak menyukai puisi-puisi yang melankolis,
dan adegan-adegan di pentas drama yang tidak logis (seperti tidak ada orang
kaya mau menikahi orang miskin), hal-hal berisi kebenaran seperti itu. Ia
mencemooh seorang pegawai yang merayu anak pemilik perusahaan dan membawanya
kawin lari. Ia rajin ke gereja dan berdoa kepada Tuhan. Ia mengutuk orang-orang
kafir. Ia mengutuk orang-orang yang kekurangan tapi mau memberi kepada orang
lain padahal mereka belum mampu mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Ia
menganggap orang-orang Hindia kafir karena belum mengenal Tuhan sehingga mereka
layak diperbudak, tenaganya layak diperas tanpa bayaran yang sesuai. Ia
menganggap sudah sepantasnya orang-orang Belanda hidup berkecukupan karena
agama mencerahkan mereka.
Sjaalman, adalah teman masa sekolah Droogstoppel yang menyerahkan
catatan-catatannya semasa di Hindia-Belanda kepada pria itu sehingga
Droogstoppel atas dorongan orang-orang mau mengumpulkan kisah-kisah Sjaalman
dan membukukannya karena pria itu memiliki pengetahuan tentang kopi. Menurut
Droogstoppel, Sjaalman yang miskin layak hidup seperti itu karena ia malas dan
arogan. Dulu di masa lalu, Sjaalman adalah satu-satunya orang yang
menyelamatkan Droogstoppel dari pedagang parfum Yunani yang mau menghajarnya,
dia membela Droogstoppel dari bogem mentah namun Drogstoppel meninggalkannya
begitu saja, kabur menyelamatkan dirinya sendiri. Sjaalman memiliki istri (dari
kalangan baik-baik dan terpandang) yang sering menangis dan dikatai
Droogstoppel dalam hati sebagai perempuan yang kurang bersyukur terhadap
hidupnya.
Max Havelaar,adalah tokoh utama dalam cerita ini dengan perasaan yang sangat
halus dan peka terhadap sekelilingnya. Ia senang membantu orang-orang
disekelilingnya sampai melupakan kehidupan dan kebutuhannya sendiri, karena
sifatnya ini ia sering merugi. Namun tampaknya puas dengan dirinya yang
manusiawi dan idealis.
Tine, adalah istri Max, yang sangat memuja suaminya dan sangat
mengenal suaminya, ia rela hidup susah dengan pria itu, harus mengencangkan
ikat pinggang dan memiliki banyak hutang. Istri yang menyupport keputusan yang
diambil suaminya. Pada masanya, dulu, ia membayarkan hutang-hutang Max Havelaar
di Natal saat ia dituduh melakukan kelalaian pencatatan pembukuan, padahal Max
tidak perlu membayar hutang tersebut, karena hutang tersebut mengada-ada,
merupakan skenario yang disusun oleh Residen saat ia bertugas di sana.
Saidjah, adalah tokoh yang diciptakan Max, salah satu penduduk Parang
Kudjang yang kehidupannya dirampas oleh pejabat pribumi dan kompeni.
Garis besar buku ini menceritakan kisah Max Havelaar sebelum,
saat, dan ketika ia diberhentikan menjadi Asisten Residen Lebak dan dipindah
tugaskan ke tempat lain. Namun karena harga dirinya, ia memilih untuk
mengundurkan diri saat itu juga, namun masih tetap memperjuangkan nasib rakyat
Lebak dengan membawa masalahnya ke hadapan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda,
namun apa daya Sang Gubernur Jenderal tidak mau ditemui, mencari-cari alasan
tidak dapat ditemui. Kita akan menyukai cara Multatuli menyampaikan ide-idenya,
komentar-komentarnya, sindiran-sindiranya.
Akhirnya Max dipindah tugaskan ke Lebak dan memutuskan untuk
menggulingkan rezim Bupati Lebak yang bertindak sewenang-wenang terhadap
rakyatnya seperti merampas kerbau-kerbau mereka dan menyuruh mereka menggarap
ladangnya tanpa dibayar, sehingga terjadilah bencana kelaparan dan
ketidakmampuan rakyat membayar pajak terhadap negara; kemiskinan tiada akhir
dan kerja paksa. Seperti pendahulunya Tuan Slothering (yang kabarnya meninggal
karena diracun; sebab ia memperjuangkan hal yang sama seperti Havelaar) pada
akhirnya Max juga dijegal oleh orang-orang yang tidak menyukai tindakannya yang
ingin memenjarakan Bupati Lebak karena kesewenang-wenangannya, padahal ia sudah
memberi teguran-teguran halus, berharap Sang Bupati akan berubah dan menjadi
lebih lembut kepada rakyatnya, namun itu tidak pernah terjadi.
Sebelum dipindahtugaskan ke Lebak, semasa di Natal, ia juga
menghadapi konflik yang sama peliknya, ia diskorsing oleh atasannya selama 9
bulan karena menyindir kekejian atasannya menggunakan epigram; Jenderal van
Damme (yang membabat habis orang Sumatera karena terobsesi Napolleon), namun
dipengadilan Max dikenal sebagai pencuri kalkun yang kelaparan karena selama
masa tahanan itu ia tidak diberi biaya hidup sampai menderita kelaparan, jadi
ia membuat lelucon dengan mencuri satu kalkun van Damme, padahal kenyataannya
adalah karena ia memberikan sindiran menyentil kepada perbuatan-perbuatan tidak
manusiawi van Damme, namun fakta itu tidak pernah dibahas di pengadilan. Masih
dalam konflik di Natal, ada sebuah kejadian dimana seorang saksi dipaksa
berbohong bahkan ada yang dilenyapkan. Konfliknya pun pelik, melibatkan kisah
pribumi-pribumi di sana sampai pada akhirnya untuk kebaikan yang lebih besar
seorang bernama Pamaga dijadikan kambing hitam, ia dijatuhi hukuman kerja paksa
di Jawa atas tuduhan percobaan pembunuhan kepada pemimpin pribumi setempat.
Beberapa bab seperti 1-5, kita akan diajak mengarungi pikirannya
Droogstoppel yang agak membosankan. Tapi kita akan menemukan fakta-fakta
tentang sifat dasar orang Jawa yang nrimo padum, mereka sangat
tunduk pada penguasa dibandingkan orang-orang Sumatera yang Islamnya sudah
kental, mereka fanatik, dan lebih tidak bisa ditakhlukan (terutama Aceh),
banyak pemberontakan pecah dengan alasan jihad di Sumatera. Begitu pula banyak
pejabat-pejabat yang menguras tenaga rakyat untuk menghasilkan uang karena
mereka terobsesi naik haji ke Mekkah—setidaknya inilah yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat di Banten. Kita juga akan melihat pola masyarakat kita yang
masih marhaenis di sini, sejak jaman dulu sampai jaman sekarang, belum berubah.
Buku ini menyimpan protes bisu bagaimana rakyat-rakyat yang marhaenis itu
(mereka punya sawah sendiri dikelola sendiri) dipaksa mengolah tanah Rajanya
(Bupati Lebak) sehingga terjadi kelaparan, banyak yang mati, terutama
tenaga-tenaga produktif, bahkan sampai ibu-ibu menjual anak-anak mereka untuk
makan. Dan tidak pernah masalah ini dikatakan bahwa ini salah
pemerintah, selalu yang disalahkan hama atau musim tapi tidak pernah
kerakusan pemerintah. Di sini juga kita akan menyadari bahwa Eropa (terutama
Belanda) datang ke Indonesia membawa misi mulia selain gold dan glory-nya,
mereka membawa GOSPEL. Yaitu menyebarkan agama. Seorang Gubernur
Jenderal yang dikirim ke Hindia oleh Raja, sering kali diekspektasikan sebagai
orang yang mumpuni untuk mengemban tugas mulia ini, meskipun sebenar-benarnya
kebanyakan dari Gubernur Jenderal ini sama sekali tidak memiliki pengetahuan
soal masalah-masalah pelik di Hindia. Mereka adalah orang-orang yang ingin
mengeruk keuntungan, lalu saat masa jabatannya segera habis adalah orang-orang
yang merindukan rumahnya sehingga melalaikan pekerjaannya.
Bab 8, unik, karena memberitahu kita tidak semua Belanda itu tiran
dan pribumi adalah si tertindas. Banyak orang Belanda yang humanis dan
manusiawi seperti Max. Banyak orang pribumi yang seperti Bupati Lebak. Belanda
yang awalnya membawa misi mulia membiarkan pribumi dengan gaya hidupnya yang
jauh lebih besar dari gaya hidup orang Belanda berlaku semena-mena, tak jarang
banyak yang juga mengambil keuntungan untuk dirinya, menimbun uang dan hidup
enak setelah ia pensiun. Karena semua orang yang pernah bekerja di Hindia dan
kembali ke Belanda, mereka hidup enak dan mewah, memiliki uang yang banyak,
rumah yang bagus, fasilitas nomor satu. Tapi banyak juga pejabat Belanda yang
bekerja di Indonesia hidup tertekan dan miskin karena tidak mau korup, hidup
mereka pas-pasan dan saat kembali ke Belanda mereka hidup tidak lebih baik dari
gelandangan. Contohnya Sjaalman.
Bab 12, 13, 14 adalah kisah-kisah Max selama di Sumatera.
Bab 17 adalah Bab yang ditunggu-tunggu, kisah Saidjah dan Adinda
yang mengharukan, bagian yang paling seru dan paling sedih dalam buku ini.
Keluarga Saidjah memiliki seekor kerbau yang dirampas Bupati Lebak untuk
menjamu tamu-tamunya. Padahal kerbau itu satu-satunya alat untuk membajak
sawah, jika mereka tidak membajak sawah mereka tidak akan mampu membayar pajak
yang dibebankan pemerintah. Jadi, keluarga Saidjah membeli lagi sebuah kerbau
dengan uang penjualan keris bapaknya ke orang China. Dikisahkan kerbaunya
sangat kuat dan dekat dengan Saidjah, kerbau itu penurut, namun kerbau ini
lagi-lagi di rampas. Saidjah sangat sedih, dan saat ayahnya hendak membeli lagi
kerbau ketiga dari uang penjualan pengait kelambu, ia menanyakan keadaan
kerbaunya apakah mereka memotongnya atau tidak. Kerbau ketiga ini tidak sekuat
kerbau kedua, namun tetap memiliki hubungan emosional dengan Saidjah. Di Parang
Kujang, anak-anak naik ke atas kerbaunya sambil membajak sawah, saat itu muncul
lah macan dari dalam hutan, semua anak-anak termasuk Adinda lari. Saidjah yang
berusaha menyelamatkan kerbaunya terlambat lari, dia diterjang macan namun
diselamatkan si kerbau hingga kerbau itu terluka. Segeralah si kerbau menjadi
kerbau kesayangan saat ia berhasil membawa Saidjah hidup-hidup, kerbau itu diobati.
Namun tak berapa lama kerbau itu dirampas lagi oleh Bupati. Keluarga Saidjah
tidak lagi punya uang untuk membeli kerbau, ayah Saidjah kabur, melarikan diri
ke Bogor, namun karena tidak ada surat jalan ia dihukum. Beliau mati dipenjara,
tak berapa lama ibunya pun menyusul. Akhirnya dia memutuskan pergi ke Batavia
untuk mencari uang supaya dapat membeli kerbau lagi, ia berjanji kepada Adinda
yang menjadi tunangannya sejak dulu. Dalam perjalanannya ia belajar membuat
topi jerami, topi ini biasanya diekspor ke Manila. Lalu Saidjah melanjutkan
lagi perjalanannya, ia bekerja sebagai kusir awalnya, namun karena gigih ia
diangkat sebagai pelayan. Majikannya sayang kepadanya, ia hidup kecukupan
sampai 3 tahun kemudian memutuskan kembali ke Parang Kudjang untuk menemui
Adinda. Namun Adinda sudah tidak ada di sana, keluarga Adinda pergi ke Lampung,
menjadi buronan karena tidak sanggup membayar pajak. Lampung adalah tempat
orang-orang di Banten melarikan diri untuk menjadi pemberontak karena tekanan
kolonial dan pejabat pribumi. Namun saat sampai di sana ia mendapati Andinda
yang menunggunya juga sudah mati.
Bab-bab selanjutnya berisi surat menyurat Max kepada atasannya di
Lebak dan bagaimana akhirnya ia memutuskan berhenti dari pekerjaannya,
mengundurkan diri sampai akhirnya Multatuli mengambil alih cerita.
Kekurangan buku ini adalah kita akan dibuat
pusing dengan kisahnya yang tidak beraturan, meloncat-loncat, dari cerita A ke
B ke C kembali ke A ke C lagi, seperti itu, jadi harus benar-benar jeli ketika
membacanya. Tidak cukup hanya sekali kita membaca buku ini untuk bisa menyerap
seluruh isinya, butuh berkali-kali. Jangan lupa siapkan catatan, sticky note,
etc sebagai bantuan.
Kelebihan buku ini adalah kita akan mendapatkan banyak sekali pengetahuan
tentang pejabat pribumi kita, pejabat Belanda, dan juga kehidupan rakyat kita
saat itu. Multatuli berhasil mengambarkannya dengan baik dan membuat kita semua
merenungi setiap kata-katanya dan kisah-kisahnya. Benar-benar kisah yang tragis
dan membuat kita tersentuh serta berfikir. Apakah kita masih sama dengan 150
tahun lalu? Atau kita sudah berubah. Karena tampaknya sekalipun pergeseran
zaman itu setiap detik kita langkahi tetapi problema-problema yang mencekik
leher kita sejak zaman dulu sama sekarang masih itu-itu saja; seolah sejarah
punya cara sendiri untuk mengulangi kisahnya.
Buku ini adalah salah satu buku yang wajib kita baca, sebagai orang
Indonesia, apalagi jika ingin menelusuri benang merah pemerintahan masa lalu
hingga masa kini. Soekarno membacanya, begitu juga dengan Kartini karena buku
ini adalah buku yang kuat, saksi sejarah kita yang kelam.@LarasestuHsr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar